Pahlawan Mandar
I Caloq Ammana Wewang, Maraqdia malolo Balanipa, Maraqdia Alu Mabubeng, Tipole dzi Balitung |
Jika di Bone dikenal Lapawowoi, Lasinrang di Sawitto, maka
di Mandar kita kenal Ajuara Topole di Juppadang, Kaco' Puang Ammana I Pattolawali
Mara'dia Malolo Banggae dan Pamboang, Calo' Ammana I Wewang Mara'dia Malolo
Balanipa, La'langi Parimuku, Pattolo' Pattana Sompa, Ka'mundri (Kali Pondhi)
Kadhi Adolang
Sebelum kita tiba kepada sejarah
perlawanan mereka kepada Belanda ada baiknya jika penulis (ANDI SYAIFUL
SINRANG) memperlihatkan silsilahnya (Lihat Lampiran). Jika melihat silsilah
ini, maka jelas terlihat bahwa pahlawan-pahlawan itu masih keturunan Puang
(bah. Ind. Bangsawan). Jadi penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) berpendapat bahwa
kepemimpinan Bangsawan pada masa dahulu masih sangat diperlukan, dalam memimpin
suatu perjuangan baik perlawanan terhadap Belanda maupun terhadap
perjuangan-perjuangan lainnya. Sekitar tahun 1894 Kerajaan Pamboang diperintah
oleh Ajuara gelar To Pole di Juppadang. Gelar ini diperoleh karena beliau
sempat diasingkan ke Ujung Pandang dan ditawan di BALLA' TINGGIA.
Menurut
keterangan dari Jalani Pua' Tammasala yang masih hidup sejak terbitnya buku
(MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini bertempat tinggal di Luaor Kecamatan
Pamboang bahwa kedatangan Belanda di Majene/Pamboang adalah disekitar tahun 0
(nol). [penafsiran penulis ANDI SYAIFUL SINRANG) tentang istilah 0 (nol) ini
adalah tahun 1900). Bermula kedatangannya diterima baik oleh raja-raja dan
bangsawan-bangsawan pada umumnya. Bahkan selama 5 (lima) tahun berhasil
mengadakan kerjasama khusus dibidang perdagangan, dan kesehatan yang diikat dalam
suatu perjanjian tertulis.
Tahun
1905 Belanda memulai politik penjajahannya yang merupakan maksud utama
kedatangannya di Indonesia. Tahun itupula Belanda telah mengingkari perjanjian.
Akibatnya Ajuara Arayang Pamboang, Kaco' Puang Ammana I Pattolawali dan Calo'
Ammana I Wewang mengadakan pemberontakan. Menyusul pemberontakan La'langi
Parimuku dan Pattolo' Pattana Sompa' dari
Mamuju.
Pada
hari-hari pertama Ammana I Wewang, Ammana I Pattolawali berhasil membakar
tangsi (Boyang Sowa') di Majene dan merampas sebanyak 80 pucuk senjata dan
menawan seorang juru tulis Belanda.
Dengan
pertimbangan kekuatan tidak seimbang, maka ada diantara anggota Hadat Banggae
yang tidak menyetujui pemberontakan itu. Dengan segala alat-alat perlengkapan
perang dan beberapa anggota Hadat Banggae, berangkatlah ke Pamboang untuk
menyusun kekuatan yang lebih besar. Menurut perhitungan ditinjau dari sudut
Pertahanan Militer, Pamboang sangat strategis apalagi dengan BETTENGNYA di
Galung Adolang yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ditinjau dari segi
perlengkapan perang sangat cocok karena pedagang-pedagang di Pamboang sudah
kenal dengan Singapura. Dilihat dari segi kekompakan Raja, Hadat dan Rakyatnya
ada labih baik dari pada Banggae. Ditinjau dari supply makanan lebih dekat
dengan kerajaan Sendana, kerajaan terbanyak makanannya pada masa itu, yang
Rajanya bernama I RUKKA LUMU dari tahun 1903-1907. Sesuai dengan struktur
TAMMAJARRA, kerajaan Sendana adalah KINDO' yang senantiasa bersedia memberi
makanan kepada anak-anaknya bila menghendaki atau menghadapi kesulitan.
Setibanya
di Pamboang segera mengadakan perundingan dengan Pallayaran Tallunna Pamboang
termasuk seluruh Pappuangan, mengenai tindakan yang harus diambil bila Belanda
menyerang Pamboang. Diputuskan – ditetapkan :
- Sejengkalpun tanah tersisa di Pamboang – Mandar, akan kita pertahankan sampai tetesan darah yang terakhir.
- Kalah perang di pantai, kita mundur ke Betteng Galung Adolang sebagai pusat pertahanan dan gerilya.
- Semua yang dianggap tidak membantu perjuangan, diambil hartanya untuk biaya perjuangan, yang melawan dibunuh.
Hari yang tak diketahui tanggalnya, Belanda mengirim utusan
ke Pamboang untuk menemui Raja (Arayang) mengenai pendiriannya. Arayang
Pamboang Ajuara yang diapit oleh menantu dan sepupu sekalinya yaitu Ammana I
Pattolawali dan Ammana I Wewang menjawab: "Tidak ada jalan untuk kompromi
apalagi untuk menyerah"
Pada
hari H, Belanda mulai menyerang Pamboang melalui Banggae dan dibantu oleh
serdadu yang naik Kapal Putih (Kapal Perang) dari laut, yang diperlengkapi
dengan meriam yang belum pernah di lihat dan di dengar semacamnya oleh rakyat
Pamboang. Dari laut sebelum meriam kapal itu meletus, sirenenya dibunyikan
sebanyak 3 kali. Secara spontan pasukan Ammana I Pattolawali membalas dengan
bunyi meriam 3 kali pula dan serentetan bunyi senjata yang kecil-kecil. Serdadu
yang dari kapal itu khusus didatangkan dari Betawi melalui Menado, Palu dan
Donggala.
Dari
kapal Belanda berbunyilah meriam otomatis dan senjata-senjata berat lainnya.
Menurut keterangan Ibu Kandung Penulis (ANDI SYAIFUL SINRANG) yang masih hidup
sejak terbitnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini yang merupakan sumber
utama dari penulisan sejarah ini menyatakan :
- Kebanyakan serdadu Belanda itu terdiri dari bangsa kita sendiri yaitu : Ambon, Menado dan Jawa.
- Karena ketakutan yang berlebihan mendengar bunyi meriam itu, maka orang-orang (non militer) yang sedang buang air besar tak ingat lagi untuk bercuci langsung melarikan diri.
Serdadu yang dari kapal Belanda mendarat sudah. Pasukan
Mara'dia Malolo bermaksud untuk bertahan di Pantai Pamboang, tetapi Ajuara
Arayang Pamboang membuat kebijaksanaan khusus untuk menghindarkan pengorbanan
rakyat biasa yaitu "Kita harus mundur ke Betteng Galung, nanti disana kita
bertahan mati-matian" Kebijaksanaan ini berkenan di hati kedua Pahlawan
itu. Maka mundurlah mereka bersama pasukannya secara jantan (bah. Mandar malai
tommuanei). Dengan semangat baja, TRI TUNGGAL ini yaitu : Ajuara Arayang
Pamboang, Kaco' Puang Mara'dia Malolo Banggae, dan I Latta Permaisuri Kerajaan
Pamboang, tiba dengan selamat di Betteng Galung.
Berkali-kali
Belanda mengirim Delegasi ke Galung untuk mengajak berdamai tetapi tidak
berhasil. Tri Tunggal dan beberapa orang pengikutnya termasuk Kura'da Puang
Tondo' Pa'bicara Adolang dan Daenna I Hama' memilih mati daripada bekerjasama
dengan Belanda apalagi dikatakan menyerah. Mereka malu mengingkari pasang (kata
semula) yang berbunyi : "Ropo'o mai bulang, tililimo'o sau buttu,
tannaulele diuru pura loau" artinya "Sekiranya langit boleh runtuh,
yah…runtuhlah; Gunung bisa terbang, ya…terbanglah; tetapi saya tidak akan
beranjak sedikitpun dari kata semula"
Betteng
Galung di serang. Pertempuran dikobarkan terus. Kedua belah pihak bergumul
mati-matian. Korban kedua belah pihak berjatuhan. Dapat ditandai, jika yang
luka (mati) mengucapkan aduh…, itu menandakan serdadu Belanda itu berasal dari
Suku Ambon, Menado atau Jawa. Jika Belanda Totok (asli), mengaduh dengan
bahasanya sendiri. Belanda mengakui jika Betteng Galung diserang dari arah mana
saja, memang sukar ditembus karena sangat jurang, tambah pula banyak batu-batu
besar yang dijejer dipinggir tebing untuk digulingkan sewaktu-waktu ada
serangan. Kecuali satu jalan rahasia dari Timbogading.
Pada
hari-hari terakhir muncullah seorang penghianat, yaitu bekas Syahbandar
Pamboang juga bekas pasukan Ammana I Pattolawali, menunjukkan jalan rahasia itu
dari Timbogading (dari belakang). Pada saat itu serdadu Belanda lolos masuk ke
dalam Betteng. Maka terjadilah pertempuran yang sangat sengit. Beradulah
senjata api dengan senjata api, pedang bayonet dengan parang, kondo wulo, keris
dan tombak. Darah pahlawan menyirami Bumi Betteng Galung. Daging dan tulang
berserakan/berhamburan. Karena sentuhan peluru dan pedang memupuk persada
Betteng Galung. Seorang Obos (menurut pengertian orang di Galung) yang memakai
topi Strep kuning emas, persis berhadapan langsung dengan Panglima Kaco' Puang
Mara'dia Malolo. Menurut cerita orang tua-tua (ada yang masih hidup sampai
terbitnya buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS ini) bahwa duel kedua orang itu
berlangsung kira-kira 7 (tujuh) menit. Dalam persitiwa itu gugurlah Kesuma
Bangsa Kaco' Puang Ammana I Pattolawali Mara'dia Malolo dengan meninggalkan
seorang isteri bernama Haji Jamilah dan 2 orang anak perempuan bernama Puang
Bere dan Puang Pune, bersama kawan seperjuangannya yang paling setia yaitu Kali
Ka'mundri (Kali Podhi) Kali Adolang dan Daenna I Hama', keduanya dari Kerajaan
Pamboang.
Menurut
keterangan dari 2 orang yang turut memakamkan Ammana I Pattolawali melalui Andi
Mappatunru' cucu langsung dari Mara'dia Ammana I Wewang dan Maralai cucu
langsung dari Kura'da Puang Tondo' Pa'bicara Adolang keduanya masih hidup saat
tersusunnya buku (MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS) ini menyatakan :
"Pahlawan itu (Ammana I Pattolawali) gugur tanpa luka. Beliau tahan peluru
dan benda-benda tajam lainnya. Yang menyebabkan kegugurannya ialah lengannya ditarik
oleh beberapa orang serdadu Belanda, sampai tulang lengannya berpisah dengan
badannya. Dari mulut, telinga, dan mata mengeluarkan darah" Dengan
gugurnya Ammana I Pattolawali adalah merupakan titik terakhir perlawanan yang
berarti dari pasukan penentang Belanda di daerah Mandar.
Ajuara
Arayang Pamboang dengan Permaisuri I Latta mengundurkan diri ke Onang Kerajaan
Sendana melalui Ulu Balombong. Ammana I Wewang mengundurkan diri ke hutan
(daerah Alu), dimana bapaknya bernama I GA-ANG menjadi Mara'dia pada masa itu.
Mayat Ammana I Pattolawali dapat diselamatkan (tidak diambil Belanda) atas
perlindungan Pasukan Mandar yang masih hidup atas petunjuk Puang Tondo'..
Setelah
beberapa hari Belanda menduduki Pamboang, Belanda mengirim utusan ke Onang
Sendana dengan pesanan :
- Arayang supaya kembali saja ke Pamboang dan akan tetap menjadi raja dengan Hadat-Hadatnya.
- Kedatangan Belanda hanya urusan dagang dan akan diadakan perundingan mengenai soal tersebut.
Maka berangkatlah Ajuara ke Pamboang
bersama pengikutnya termasuk Kura'da Daeng Mattantu gelar Puang Tondo'
Pa'bicara Adolang. Sesampai di Pamboang diadakanlah perundingan di atas Kapal
Putih/Kapal Perang. Tidak di adakan di darat karena dikhawatirkan sementara
perundingan, Ammana I wewang menyerang. Itulah alasan Belanda yang membuat
Arayang Ajuara tidak merasa curiga.
Sebelum perundingan dimulai, Kapal
Perang Putih diberangkatkan ke Ujung Pandang (sekarang Makassar), berarti
pengasingan bagi pahlawan-pahlawan kita. Peristiwa ini terjadi sekitar tahun
1907. Mereka ditawan di Balla Tinggia di Ujung Pandang. Berselang beberapa
tahun mereka kembali ke Pamboang dengan selamat. Sebagai kenangan dan
peringatan bagi mereka berdua, Arayang Ajuara diberi gelar TO POLE DI JUPPADANG
dan Kura'da Puang Tondo', salah seorang cucunya yang dilahirkan sementara
beliau dalam pengasingan di Balla' Tinggia diberi nama I TINGGI.
Malang
bagi pahlawan Ammana I Wewang dalam suatu serangan yang tak disangka-sangka
dari serdadu Belanda, berliau tertangkap dan diasingkan ke Pulau Belitung
(sekarang Propinsi Bangka Belitung). Oleh anak cucu beliau menugaskan kepada
seorang bernama Muhammad Ali untuk mengambil dalam pengasingan. Peristiwa
pengasingan ini terjadi dari tahun 1907 dan kembali ke Mandar tahun 1944.
Beliau wafat dan dimakamkan di dalam pekarangan Masjid Limboro Balanipa pada
tanggal 11 April 1967. Dengan surat keputusan dari Pemerintah Republik
Indonesia beliau diakui sebagai PEJUANG PERINTIS KEMERDEKAAN. Pahlawan ini oleh
masyarakat Mandar dikenal dengan gelar TO POLE DI BALITUNG. Dan sebagai
kenangan dari Kali Adolang lahir pulalah serangkaian syair berbunyi sebagai
berikut : "Mate Kalinna Adolang, Tombong guma kowi'na, Pura sumangi' to
ilalang tumae" artinya "Gugurlah sudah Kadhi Adolang, Tembus
berlobang sarung parungnya, semua orang dalam tunangan, turut meratap sambil
menangis" Catatan :
- Mengapa orang-orang dalam tunangan turut menangis?
- Karena menurut pendapat orang Adolang pada masa itu, hanyalah Kadhi Adolang satu-satunya yang dapat (punya berkah) dalam mengawinkan orang.
- Belum ada yang berpendapat bahwa tidak akan kawin sama sekali dengan kematian Kadhi Adolang tersebut.
- (Sumber : Buku MENGENAL MANDAR SEKILAS LINTAS, oleh ANDI SYAIFUL SINRANG, Penerbit Group "Tipalayo" Polemaju Mandar, tahun 1980, halaman 39 s/d 46)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar