KESALAHAN BERBAHASA MANDAR
Suku Mandar adalah kelompok etnik
yang ada di Sulawesi yang mendiami daerah Sulawesi daerah barat, namun kelompok
ini juga tersebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara
juga tersebar di beberapa provinsi di luar sulawesi seperti Kalimanatan Selatan, kalimanatan Timur Jawa
dan Sumatera
bahkan sampai ke Malaysia.
Beragam bahasa yang ada di Sulawesi barat (baca: Mandar) mulai dari bahasa
Mandar, Pattae’, Pannei’, Pattinjo, Bugis, Kone’-kone’e dan masih banyak bahasa
yang saat ini belum diteliti secara mendalam, Namun bahasa Mandar adalah bahasa
yang diangkat menjadi bahasa persatuan dalam Konfederasi Sipamanda’ ( Saling menguatkan) Pitu
Ulunna Salu-Pitu Ba’bana Binanga anna’ sappulo appe’ Tapparitti’na uwai (Tujuh
kerajaan di hulu-Tujuh kerajaan dihilir dan empat belas kerajaan pendukung).
Namun posisi bahasa Mandar sebagai
bahasa persatuan saat ini mulai digantikan dengan bahasa Indonesia karena sejak
tahun 1956 seluruh daerah Sulawesi menggabungkan diri kedalam Kesatuan Negara
Republik Indonesia (NKRI). Program pemerintah Indonesia yang mencanangkan
bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dari Sabang sampai ke Merauke
mempunyai dampak yang dampak Postifnya antara lain : Sebagai Bahasa Nasional : Bahasa
Indonesia sebagai Identitas Nasional, Bahasa Indonesia sebagai Kebanggaan
Bangsa, Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, Bahasa Indonesia sebagai Alat
pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
Pada
tanggal 25-28 Februari 1975, Hasil perumusan seminar bahasa Nasional
yang diselenggarakan di jakarta. Dikemukakan Kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa Negara adalah : Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan, Bahasa
Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan, Bahasa Indonesia
sebagai penghubung pada tingkat Nasional untuk kepentingan perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, Bahasa Indonesia Sebagai pengembangan
kebudayaan Nasional, Ilmu dan Teknologi.
Akan
tetapi selain dampak positif, bahasa Indonesia mempunyai dampak negatif dan ini
berimbas kepada penutur bahasa daerah, tidak terkecuali bahasa daerah Mandar.
Bahasa Mandar saat ini khususnya untuk daerah perkotaan semakin tahun semakin
menyusut penuturnya karena penggunaan bahasa Indonesia semakin meningkat,
meskipun demikian asimilasi bahasa antara bahasa Indonesia dengan bahasa daerah
terjadi hingga menciptakan sebuah bahasa baru yang disebut dengan bahasa
prokem, contohnya: silahkan makan menjadi makanki, mau kemana menjadi kemanaki
dan lain sebagainya, justru keadaaan ini menjadi sebuah masalah tersendiri
karena disisi hakikatnya dia bukan bahasa Indonesia juga bukan merupakan bahasa
daerah dan hal ini membuat keberadaan bahasa daerah khususnya bahasa Mandar
menjadi terancam terkikis penuturnya, bahkan tidak menutup kemungkinan akan
punah. Berawal dari keresahan akan terkikisnya penggunaan bahasa Mandar sehingga
saya membuat tulisan ini, semoga dapat sedikit merubah pola pandangan kita orang
yang mengaku Mandar terhadap bahasa Mandar.
Di
dalam literatur-literatur atau buku-buku yang menuliskan dan menjelaskan
tentang Mandar dari berbagai tradisi dan budaya dari sudut pandang tertentu,
hanya sedikit yang mengetahui, bahkan ada yang sudah tahu tetapi menutup
telinga hingga tetap menggunakan “kacamata kuda” saat melakukan penulisan bahwa
apa yang akan dia tuliskan akan “menyesatkan” generasi Mandar kedepannya. Kesalahan
berbahasa Mandar yang terjadi saat ini diakibatkan kekeliruan dalam menafsirkan
simbol-simbol dalam kepenulisan, dengan berkiblat kepada Seminar dan lain
sebagainya hingga 1 kata atau 1 huruf bisa berakibat pada kesalahan pengucapan
dan hilangnya identitas bahasa Mandar.
Kesalahan berbahasa Mandar
yang saya maksud adalah semakin tergerusnya Glottal Stop Apostrophe (‘) yang kemudian digantikan dengan /q/ dan
hilangnya fonem /dz/.
Gambar
1. Alat Ucap Manusia
Glottal
Stop Apostrophe (‘)
Glottal Stop Apostrophe
atau hamzah adalah penghentian bunyi dalam celah suara yang menggunakan simbol
Apostrophe. Penggunaan glottal stop Apostrophe (‘) sebelumnya memang sudah
pernah di Mandar, juga pernah menggunakan huruf “q” dan “k” tapi saat ini
banyak yang menggunakan huruf “q” sebagai glottal stop dengan alasan bahwa
hasil itu adalah hasil seminar Loka
Karya Pembakuan Ejaan Latin Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan pada 25 – 27
Agustus 1975, ditambah lagi dengan alasan bahwa bahasa inggris
saja bisa tulisannya beda dengan pengucapannya.
Namun
tinjau dari segi penggunaannya dalam bahasa Mandar, penggunaan glottal stop “k”
dan “q” tidak efektif karena penggunaanya dalam sebuah kata menghasilkan
pengucapan yang keliru jika dituturkan. Kekeliruan yang terus menerus dilakukan
dan akhirnya menjadi sebuah kesalahan. Contohnya Pengucapan kata Lopi Sande’ (perahu Sande’), jika
penulisan berdasarkan seminar kebudayaan 1971 yang dipergunakan maka
penulisannya akan menjadi Lopi Sandeq.
Pengucapan kata sande/q/ tuturannya sama dengan tuturan sande/k/ yang
menggunakan glottal stop huruf /k/. Dalam ilmu fonologi (Fonologi diartikan sebagai kajian bahasa yang mempelajari
tentang bunyi-bunyi bahasa yang diproduksi oleh alat ucap manusia. Bidang
kajian fonologi adalah bunyi bahasa sebagai satuan terkecil dari ujaran dengan
gabungan bunyi yang membentuk suku kata) Kata Sande/q/ atau Sande/k/ mempunyai
perbedaan yang cukup jelas dengan pengucapan kata Sande/’/. Pada kata Sande/q/
atau Sande/k/ penggalan kata de/q/ atau
de/k/ saat dituturkan maka akan bertemu belakang lidah dengan lelangit lembut
(lihat gambar 1. Alat Ucap Manusia), jelas berbeda dengan kata Sande/’/ pada
penggalan kata de/’/ akan bertemu faring bagian atas dengan anak tekak.
Fonem /dz/.
Fonem adalah bunyi bahasa yang berbeda atau mirip
kedengarannya, contoh kongkritnya dalam bahasa Indonesia : Ban dan Bank, fonem
/k/ yang membedakan ban yang dipakai dikendaraan, dengan bank tempat simpan
pinjam uang. Fonem /dz/ adalah fonem serapan dari bahasa arab, karena diketahui
semenjak zaman I Daetta Tommuane Mara’dia Balanipa ke-IV, kerajaan Balanipa
sudah menjadikan agama Islam sebagai bahasa resminya. Fonem /dz/ diserap dari
huruf Hijayyah ذ
(baca dzal) dan inilah yang menjadi identitas Mandar dalam konteks kebahasaan,
yang membedakan antara penutur bahasa Mandar dengan penutur bahasa daerah
lainnya di Sulawesi tidak terkecuali sepupunya Bugis dan Makassar.
Fonem /dz/ hampir berada dalan setiap percakapan
berbahasa Mandar tetapi entah karena apa sehingga fonem /dz/ ini ikut tergerus
dalam budaya berbahasa Mandar yang baik dan benar oleh penuturnya, mungkin
karenakan pengaruh bahasa tetangganya Bugis, Toraja dan Makassar. Padahal fonem
/dz/ inilah yang membedakan kita secara umum dengan penutur bahasa Bugis,
bahasa Toraja dan bahasa Makassar yang notabenenya mempunyai kesamaan kosakata
yang tipis dengan kita.
Pada bahasa Bugis, Toraja dan Makassar “Kerbau”
disebut dengan Tedong, tapi yang
sedikit meyentil saya saat ini kita juga ikut-ikutan menyebut Tedong atau Terong dan inilah yang saya sebut dengan kesalahan berbahasa Mandar
bahkan fatal menurut saya. Seharusnya penutur bahasa Mandar menggunakan fonem
/dz/ bukannya fonem /d/ atau /r/, sehingga pengucapannya menjadi Tedzong
(Te/dz/ong), ini juga ditemukan dalam pengucapan kata “di” (bahasa indonesia),
Bugis dan Makassar akan menuturkannya “ri” dan lagi-lagi kita ikut-ikutan
dengan mereka dengan menyebutnya “ri” atau “di” yang seharusnya adalah dzi
(/dz/i). Contoh dalam kata penyebutan gelar I
Mayambungi raja pertama kerajaan Balanipa, kita tidak lagi menyebut To Dzilaling tetapi Todilaling bahkan ada yang yang menyebut Torilaling. Contoh lainnya kata yang “aduh” dalam bahasa Mandar,
yang seharusnya dituturkan “adzedze” sekarang menjadi “arere” dan “adede” ,
tetapi bukan berarti bahasa mandar tidak mengenal konsonan “r” hanya saja pada
kata-kata yang memang mengharuskannya menggunakan konsonan “r” seperti mararas = pedas, mamarang = haus, marannu
= berharap dan sebagainya.
Penggunaan fonem /dz/ memang terkasan agak lebih
sulit ketika dituturkan, lebih mudah menuturkan jika itu fonem /d/ atau fonem
/r/, tapi bukan berarti harus dihilangkan karena sekecil apapun itu adalah
budaya kita sebagai orang Mandar, yang menjadi identitas kemandaran kita dalam
konteks bahasa dan membedakan kita dengan sepupu-sepupu bahasa kita di tanah
Sulawesi.
Bahasa Mandar saat
ini masih perlu kajian-kajian Linguistik, hanya segelintir orang saja yang
masih peduli tentang bahasa Mandar. Saya pernah mendapatkan wacana di internet yang
redaksinya menyebutkan bahwa bahasa Mandar adalah bahasa yang terancam punah, dengan
berat hati saya mengakui hal tersebut karena yang akan membuatnya punah adalah
kita sendiri para generasi Mandar. Jadi berbahasa Mandarlah yang baik dan
benar.